adsense

Sabtu, 05 Februari 2011

Mushawwibah dan Mukhaththiah


Di dalam Islam, semua teks (al-Qur’an dan al-Hadits) yang berbentuk zhanni (dugaan) maka makna yang muncul dari teks itu selalu dirumuskan dalam kesimpulan yang berbeda-beda (mukhtalaf fih). Bagi pengikut teori mushawwibah akan mengatakan bahwa semua kesimpulan yang beda-beda itu, yang benar tidak satu, bahkan bisa juga semuanya benar. Demikian jika semua mujtahidnya menampilkan kerangka berfikir yang sejalan dengan jalur ushul-fiqh. Sedangkan pengikut mukhath-thiah akan berpendapat bahwa semua kesimpilan yang banyak itu, yang benar cuma satu saja, apalagi jika beberapa kesimpulan tadi ada nilai kontradiktif.
Penilaian semacam itu muncul karena ushul-fiqh atau kerangka berfikir fiqh memanfaatkan penalaran subjective dan paradigma kwalitative. Penalaran semacam ini kurang memiliki kebenaran pada tingkat tertentu. Kebenaran ushul-fiqh dianggap mengada-ada dan spekulasi yang merancang. Tentu saja asumsi seperti itu tidak selalu benar. Meskipun begitu, pengembangan ushul-fiqh seyogyanya berusaha keras untuk meyakinkan orang lain, bahwa fiqh yang diproduksinya memiliki kadar logika dan kebenaran.
Logika dan kebenaran dalam ushul-fiqh tidak berbeda dengan metoda penelitian ilmu social atau ilmu budaya. Logika tetap menjadi wahana untuk mencari kebenaran. Meskipun begitu, banyak sekali macam-macam logika yang dipergunakan untuk mencapai kebenaran itu. Tetapi tidak semuanya relevan bagi pengembangan ushul-fiqh. Macam-macam logika itu antara lain : (a) logika formal. Logika ini berusaha mencari kebenaran dengan mencari relasi antar muqaddimah shugra dan kubra dengan tujuan untuk menggeneralisasikan natijah yang ada pada setiap syakal (qiyas manthiqi). Logika ini tidak bisa diterapkan dalam ushul-fiqh. karena ushul-fiqh tidak mengejar qiyas-qiyas manthiqi seperti itu, tetapi transferabilitas. (b) logika matematik. Logika ini pencarian kebenaran dengan mencari relasi proposisi menurut kebenaran materiil seperti tiga kali tiga itu sembilan. Logika ini didukung oleh rerata yang pasti  dan terukur. Andalan logika ini adalah adanya dalil, aturan, dan rumus-rumus pasti. Logika semacam ini dimanfaatkan oleh statistika dan bisa berlaku bagi penelitian ilmu social, ilmu budaya, termasuk ilmu agama yang penganut faham posistivistik. (c) Logika reflektif, yaitu cara berfikir dengan sangat cepat, untuk mengabstraksikan  dan penjabaran. Logika ini berlangsung cepat dan bisa memanfaatkan daya intuisi. Dalam ilmu tasawwuf, logika ini disebut pendekatan dzauqi yang bisa berkembang sampai laduni. (d) logika kwalitatif, yakni pencarian kebenaran berdasarkan paparan deskriptif data di lapangan atau di perpustakaan. Kwalitas kebenarannya didasarkan pada realitas yang ada. (e) logika linguistik, yaitu pencarian kebenaran berdasarkan pemakaian bahasa. Logika ini banyak diminati oleh penelitian al-Qur’an dan semacam penelitian yang memerlukan penafsiran.
Dari macam-macam logika di atas, ushul-fiqh cenderung memanfaatkan logika kwalitatif dan logika linguistik. Suatu saat logika reflektif pun dipakai pula, terutama untuk mengembangkan dalil metodologis seperti istihsan dan mashalih mursalah. Logika kwalitatif banyak dipergunakan untuk mengembangkan dalil sosiologis seperti ijma’, qaul shahabi, dan lain-lain. Sedangkan logika linguistik dipergunakan untuk mengembangkan dalil normative, yaitu al-Qur’an dan teks al-Hadits.
Dari segi lain, logika kwalitatif biasanya dipergunakan untuk lingkup kebenaran yang terbatas. Artinya, kebenaran yang dicapai bukan sebuah wacana yang berlaku universal, melainkan hanya pada tingkat local, atau kasus tertentu saja. Karena itu, kebenaran kwalitatif bersifat lebih spesifik dan tidak menghendaki adanya regualitas. Oleh karena itu teks atau kasus yang dikelola memakai logika kwalitatif akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Hal ini bukan berarti kebenaran semacam itu lemah, tetapi tetap menggunakan dalil berdasarkan realitas. Itulah suatu fenomena yang oleh Islam disebut rahmatan lil’alamin.
Dulu, penelitian ilmu social dan ilmu budaya diarahkan pada pemikiran objektif dan matematis. Tetapi setelah mereka mulai meninggalkan logika tradisi, dan ingin mencari kebenaran baru yang lebih orisinil, mereka mengejar perkembangan yang disebut postmodernisme. Kalau perkembangan ilmu itu seperti itu, maka akan berte-mu dengan ushul-fiqh yang kebenarannya didasarkan pada argumentasi, imajinasi, dan common sense (akal sehat).
Kebenaran dalam ushul-fiqh adalah nisbi (zhanni) dan relative (mukhtalaf fih), dan menganut hokum probabilitas (ijtihadiah). Titik tolak ushuliyun semacam itu adalah kebenaran kreatif  cerdas, dan tidak menyalahkan orang lain seperti meng-hakimi salah, bid’ah, jumud, dan sebagainya. Tentu saja pendirian ushuliyun seperti itu tidak disetujui oleh agamawan yang taat pada kebenaran matematis.Di antara mereka ada yang berkata : Allah itu satu. Nabi Muhammad itu satu, dan Al-Qur’an juga satu, maka seharusnya pemikiran Islam pun satu pula (bersatu). Padahal sulit dipungkiri bahwa kebenaran kreatif pun akan mampu mewadahi aspirasi kebenaran yang kecil-kecil, yaitu kebenaran yang jarang teradopsi oleh ilmuan yang selalu berfikir global.
Perlu dipertimbangkan, baik oleh pengikut mushawwibah atau mukhaththiah bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) adalah unik, dan inilah yang menjadi objek pembahasan ushul-fiqh. Oleh karena itu tuntutan kebenaran dan atau objek-tivitas ushul-fiqh hendaknya dicari bukan seperti fenomena alam. Jika fenomena alam ada hal-hal yang secara fisik teramati, terulang, dan teratur, maka perilaku manusia tidak selamanya bergerak seperti itu, bahkan selalu bias. Tingkat bias ini hanya mampu diolah menjadi objective apabila dilukiskan secara verstehen (mudah terfahami). Jika fiqh yang diproduksi melalui ushul-fiqh tadi dapat diterima oleh masyarakat, berarti dalam ushul-fiqh tadi ada kejelasan. Kejelasan inilah yang disebut kebenaran.
Jadi kalau kebenaran ilmuan objective lebih menyukai penjelasan logis, maka ushul-fiqh menyajikan penjelasan yang berisi penafsiran. Kalau kebenaran objective ingin melihat pembakuan pengamatan yang teratur, maka penglolaan ushul-fiqh bersifat humanistic yang kreatif. Dengan kata lain kebenaran ushul-fiqh lebih menitik beratkan pada aspek humanistic kemanusiaan. Itulah sebabnya, ushul fiqh dinilai unik yang memandang bahwa perilaku manusia satu sama lain tidak selalu sama. Dengan demikian, orang yang berpendapat bahwa Ushul-fiqh al-Syafi’iy itu mirip dengan Manthiq Plato atau Aristotales, itu tidak benar. Karena kebenaran Manthiq memiliki hubungan kausalitas yang jelas dan harus relasional yang memungkinkan kontrol proposisi. Sedangkan kebenaran Ushul-Fiqh ditekankan pada penafsiran logic yang kadang-kadang bercampur dengan intuisi, imajinasi, dan kreativitas. Oleh karena itu, melalui penafsiran semacam ini, Ushul-Fqh lebih mampu memasuki sisi-sisi perso-alan hukum yang berkaitan dengan perilaku umat (af’al al-mukallafin).
Lebih dari itu, kebenaran ushul-fiqh bukan hal yang dirancang ada, tetapi harus dicari dalam konteks. Ushuliyun hanya bertugas menghimpun, mengorganisasi, mengklasifikasi, dan menglola dalil-dalil fiqhiyah untuk keperluan fiqih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar