adsense

Sabtu, 05 Februari 2011

Pendekatan Emik dan Etik


Ada dua cara pandang (pendekatan) yang saling bertolak belakang. Dua pendekatan ini disebut pendekatan emik (fonemik) dan pendekatan etik (fonetik). Awalnya, pendekatan ini muncul dari istilah linguistik, yang dalam ilmu budaya dipopulerkan oleh Kenneth Pike. Dalam Kitab Klasik, teori ini pernah dikembangan oleh Ibn Jinni dan al-Jurjani. Menurut Ja’far Dikki, teori Ibn Jinni dan teori Al-Jurjani saling melengkapi untuk membangun teori linguistik yang baru. Penggabungan dua teori tersebut adalah (a) Penggabungan antara studi diakronik Al-Jurjani dan singkronik Ibn Jinni merupakan hal yang signifikan (b) Teori Ibn Jinni yang mengatakan bahwa bahasa tidak terbentuk seketika, tetapi berproses, dan teori Al-Jurjani tentang hubungan antara bahasa dan pertumbuhan pemikiran, merupakan hal yang saling terkait. Dengan demikian bahasa dengan segala aturannya tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia. Teori dua tokoh tadi mengembangkan aliran linguistik Abu Ali al-Farisi, yang kateristik umumnya adalah (a) Bahasa pada dasarnya terbetuk secara system. (b) Bahasa merupakan fenomena social dan strukturnya terkait dengan fungsi transmisi yang melekat pada bahasa tersebut. (c) Adanya kesesuaian antara bahasa dan pemikiran. Dari segi lain, ahli-ahli linguistik mempelajari kamus Maqayis al-Lughat karya Ibn Faris. Tokoh ini meng-embangakan teori gurunya, yaitu Sa’lab yang membedakan antara kata benda sebagai subjek (ism dzat) dan kata benda sebagai sifat (ism shifat). Tampaknya, dari teori semacam inilah muncul gagasan tentang emik dan etik untuk mengembangkan ilmu sosial dan ilmu budaya, dan sekarang dicoba untuk mengembangkan ushul-fiqh.
Secara epistemologis, pendekatan etik dan emik memiliki implikasi yang berbe-da. Jika ushuliyun berusaha mengembangkan ushul-fiqh menurut mazhab universal dengan menggunakan cara-cara yang ditentukan sebelumnya, maka cara ini, oleh teori linguistik disebut etik. Sebaliknya, jika pengembangan ushul-fiqh itu berdasar-kan mazhab regional (mazhab Syafi’iy saja misalnya) maka berarti ushuliyun telah mengembangkan ushul-fiqh dengan pendekatan emik. Bagi ushuliyun bisa juga menggunakan salah satu pendekatan, dan atau menggunakan keduanya. Yang penting mereka memperhatikan konsistensi pemanfaatan keduanya, agar tidak terjadi campur aduk. Kedua pendekatan ini memiliki kelemahan masing-masing dan sekaligus memiliki kekuatan tertentu.   
Menurut Marvin Harris, istilah etik dan emik akan berhubungan dengan masalah objektif dan subjektif. Etik bersifat sangat tertutup dalam hal makna, seperti prinsip objektif. Tetapi emik tidak bisa disejajarkan dengan subjektif saja tetapi bisa juga disejajarkan dengan objektif dan subjektif sekali gus. Kalau teori ini diterapkan pada ushul-fiqh universal dan ushul-fiqh regional, maka bisa berhubungan dengan objektif dan subjektif dalam penerapan. Artinya, jika dalam ushul-fiqh tadi ushuliyun mengo-lah dalil normative (tsk al-Qur’an dan teks al-Hadits), maka bisa menemukan objektif dan subjektif. Tetapi jika mereka mengolah dalil metodologis seperti istihsan maka dia akan terjadi subjektif. Jadi perbedaan antara objektif dan subjektif dan penyebutan ushul-fiqh regional dan universal, tergantung penggunaannya.
Jelasnya, pendekatan etik dan emik merupakan landasan norma pengembangan penelitian yang berusaha memahami tingkah laku manusia. Tingkah laku tersebut penuh dengan makna, karena di dalamnya terdapat aneka macam symbol aksi. Begitu pula ushul-fiqh yang mengambil istilah mazhab regional dan mazhab universal, meru-pakan landasan pengembangan ushul-fiqh itu sendiri, yang berusaha memahami tingkah laku manusia (af’al al-mukallafin). Tingkah laku ini penuh dengan makna (penilaian), karena di dalamnya terdapat berbagai aksi (akidah, niat, ucapan, gerakan dan perbuatan).
Pendekatan mazhab regional dan mazhab universal pada dasarnya merefer pada sudut pengembangan ushul fiqh itu sendiri. Jika ushuliyun itu mendasarkan pengem-bangannya pada mazhabnya sendiri, berarti dia mengembangkan ushul-fiqh regional. Dan jika dia menggunakan sudut pandang beberapa mazhab, berarti dia menggunakan ushul-fiqh akurat apabila dia mampu menangkap persamaan dan perbedaan pendapat beberapa tokohnya, selanjutnya dikategorikan dan dicari signifikasi teori secara penuh. Berarti pengambilan mazhab regional lebih memperhatikan teori yang lebih aspiratif. Sebaliknya, pemaparan ushul-fiqh universal lebih tergantung pada kejelian ushuliyun itu sendiri, dalam menampilkan suatu teori secara ilmiah.
Jika ushuliyun itu pengembangannya memilih ushul-fiqh mazhab universal, pada akhirnya dia harus melakukan generalisasi. Pada saat itu dia harus melakukan beberapa hal. (a) dia harus mengelompokkan secara sistematis seluruh pendapat atau teori ushul-fiqh yang ada, ke dalam system tunggal. (b) dia menyediakan ukuran atau kriteria untuk klasifikasi setiap dalil yang menunjang teori-teori ushul-fiqhnya. (c) dia mengorganisasikan teori yang telah diklasifikasikan ke dalam type-type tertentu. (d) menganalisa, menemukan, dan menguraikan setiap teori (qaul) dan argumentasinya ke dalam kerangka system yang telah dibuat, sebelum dia mempelajari ushul-fiqh.
Sebaliknya, pendekatan ushul-fiqh mazhab regional termasuk ushul-fiqh mazhabnya sendiri, merupakan esensi yang shahih untuk fenomena fiqh pada suatu waktu tertentu. Pendekatan ini relevan sebagai usaha untuk mengungkap pola-pola fiqh menurut persepsi mazhabnya. Pendekatan ini menegaskan bahwa konsepnya muncul dari ushuliyun sendiri. Berbeda dengan pengembangan ushul-fiqh universal, ushuliyun berdiri di luar mazhabnya sendiri. Pendekatan pertama (regional) akan terkait dengan keseluruhan teori  mazhabnya, dan akan menekankan pada kenisbian. Pendekatan ini lebih natural dalam mereprosentasikan teori ushul-fiqh dan sejalan dengan konsep ushul-fiqh secara operasional. Sedangkan ushul-fiqh universal ditekankan pada sikap mutlak. Dari satu segi, pendekatan ini kurang natural, dan sejajar dengan teori ushul-fiqh secara kognitif. 
Jika kedua pendekatan itu diperbandingkan maka akan tergambar dalam karakte-ristik sebagai berikut.
            Pendekatan ushul-fiqh regional adalah (a) Ushuliyun akan mempelajari perilaku masyarakat (af’al al-mukallafin) yang mengikuti mazhabnya sendiri. (b) Ushuliyun hanya mempelajari ushul-fiqh dari mazhabnya sendiri, yaitu ushul-fiqh al-Syafi’iy misalnya, yang ditulis oleh beberapa tokoh mazhab itu. (c) Struktur ushul-fiqh diten-tukan oleh kondisi dan situasi jama’ah yang mengamalkan fiqhnya. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat relatif dan terbatas.
Sedangkan ushul-fiqh universal adalah (a) Ushuliyun akan mempelajari perilaku manusia (af’al al-mukallafin) dari luar mazhabnya sendiri. (b) Ushuliyun akan mempelajari ushul-fiqh dari berbagai mazhab dan membandingkannya satu sama lain. (c) Struktur ushul-fiqh ditentukan oleh ushuliyun itu sendiri dengan membangun konseptual. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat mutlak, ada generalisasi dan berlaku universal.
Dari karakteristik seperti itu, tampak bahwa ushuliyun regional akan menjadikan dirinya sebagai bagian utuh dari mazhab itu. Ushuliyun ini ikut merasakan dan bertindak sebagai partisipan penuh. Kehadiran ushuliyun seperti ini menentukan ke-berhasilan. Tentu saja subjektivitas pun tetap sulit dihindarkan. Apalagi ushuliyun tadi pendukung mazhabnya. Jika dia tidak mampu mengambil jarak, bisa terjadi bias. Sedangkan pengembang ushul-fiqh universal, otoritas ushuliyun sangat menentukan. Kemampuan mereka membangun konsep yang akan diterapkan, amat menentukan keberhasilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar